Rabu, 19 Oktober 2011

Jurnalistik

Konflik Dalam Pemberitaan Media Massa
 

Sumartono, S.Sos, M.Si.
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Esa Unggul, Jakarta

Disaat krisis, pers seharusnya memberikan informasi yang seimbang, sehat, dan menenangkan suasana, dan bukannya malah memanas-manasi atau memprovokasi  publik untuk ikut mengamuk. Secara ideal pers atau media seharusnya menyediakan informasi yang jujur, jernih dan seluas mungkin mengenai apa yang layak dan perlu diketahui oleh masyarakat sehingga dapat membantu meredakan dan menyelesaikan krisis.
Pemberitaan media yang berisi konflik dapat membawa pengaruh pada dua hal. Pertama pemberitaan media justru memperluas eskalasi konflik dan kedua, dapat membantu meredakan dan menyelesaikan konflik (Sieber, et al., 1986). Pendapat yang saling bertentangan diharapkan akan bermuara pada satu kesepakatan penyelesaian. Pendapat seperti ini walaupun masuk akal namun belum terbukti secara empiris yang dapat dijadikan pegangan untuk membe-narkan asumsi tersebut.

Mencermati dua kemungkinan tersebut, tampaknya kemungkinan pertama lebih terbuka terjadi melalui pemberitaan suatu konflik oleh media massa. Hal ini tanpak dan dapat dicermati, misalnya pada konflik Ambon. Konflik yang semula adalah perkelahian antara pemuda Mardika (kampung Kristen) dengan pemuda Batumerah (kampung Muslim) dalam memperebutkan sumber daya ekonomi akhirnya berkembang men-jadi sentimen anatar kelompok agama. Perkembangan selanjutnya konflik meluas hingga ke kepulauan Maluku. Perluasan eskalasi konflik ini kemudian meluas lagi menjadi isu nasional dan internasional.

Informasi tentang krisis, konflik banyak kita temukan di media massa. Tetapi dari segi kualitas hal itu belum menjamin perbaikan situasi konflik dan krisis yang berlangsung. Kebanyakan informasi tentang konflik yang tersaji di media massa hanya bersifat permukaan, parsial, sepotong-potong, tidak proporsional, sebagian besar hanya menekankan aspek kekerasan dan konflik terbuka saja, bukan pada aspek situasi, akar masalah yang bisa mendukung perbaikan situasi dan perdamaian

Untuk mengatasi masalah ini terdapat beberapa alternatif solusi yang dikemukakan oleh Chang yang dikutip oleh Trijono L (2002) sebagai berikut:
•    Dengan menambah dan terus menerus membuka saluran (channel) komunikasi sehingga arus informasi terus mengalir dan ketersediaan informasi bisa diperoleh secara memadai
•    Meningkatkan kualitas informasi tentang konflik yang ada sehingga bisa diperoleh informasi yang bermakna dan berguna secara memadai bagi kepentingan publik secara luas
•    Momfokuskan pada penyajian informasi dan proses komunikasi yang mengarah pada isu-isu spesifik dari situasi konflik dan setiap dimensi krisis secara mendalam sehingga tidak memper-luas dan semakin membuat ruwet interpretasi dan pemaknaan publik yang bisa semakin mengacaukan situasi krisis.

Perbaikan kualitas komunikasi dan informasi yang diliput media massa melalui berbagai upaya kampanye dan perluasan aktivitas komunikasi perdamaian atau jurna-lisme damai dapat membantu perbai-kan situasi konflik dan krisis di dunia saat ini.

Indonesia merupakan negara multi etnis yang memiliki aneka ragam suku, budaya, bahasa, dan agama bersatu di bawah semboyan Bhineka Tunggal Ika, namun tidak demikian halnya pada kenyataan. Keaneka-ragaman dan perbedaan itu merupakan potensi terpendam pemicu konflik. Pakar studi konflik dari Universitas Oxford, France, Steward (Kompas 16/12/03) menyebutkan empat kategori negara yang berpotensi konflik. Keempat kategori adalah negara dengan tingkat pendapatan dan pembangunan manusianya rendah, negara yang pernah terlibat konflik serius dalam 30 tahun sebelumnya, negara dengan tingkat horizontal yang tinggi, dan negara yang rezim politiknya berada dalam transisi rezim represif menuju rezim demokratis. Indonesia bisa masuk dalam keempat kategori tersebut sekaligus.
Dalam kungkungan rezim Orde Baru, media massa kita dipaksa untuk berhati-hati dalam pemberitaan mereka atas kasus-kasus yang ber-nuansa Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA). Wacana tentang etnis, ras dan agama selama ini menjadi hal yang selalu ditutup-tutupi dan tabu di kalangan masyarakat. Namun seiring dengan runtuhnya rezim Orde Baru, berubah pula tatanan institusi media. Di era Refor-masi, kebebasan pers telah mengha-dirkan dengan telanjang segala keru-wetan, kekacauan yang selama era Orde Baru selalu ditutup-tutupi. Pemberitaan media atas sejumlah isu memperlihatkan munculnya kebera-nian dan kejujuran dalam menentukan sikap. Pada era Orde Baru, tuntutan itu coba dipenuhi dengan meman-faatkan media massa. Dalam konteks ini media massa sebagai salah satu pilar terbentuknya negara demokratis dan masyarakat madani. Media massa menjadi wadah perbedaan pendapat yang sehat; tidak bertendensi memojokan kelompok yang bersebe-rangan dengan dirinya. (Sudibyo, et al. 2001).
Pada Era Reformasi krisis, dan konflik menjadi lebih tajam dan tampak semakin dramatis diberitakan melalui liputan pers. Konflik Ambon dan Maluku Utara yang bernuansa agama memperlihatkan dengan jelas sikap dan posisi yang diambil oleh media massa tertentu dalam pemberi-taannya. Dibandingkan dengan topik-topik lain para wartawan menganggap krisis, konflik, dan perang sebagai hal yang memenuhi banyak kriteria jurna-listik untuk membuat peristiwa menjadi berita. Karena menarik perha-tian tentu saja peristiwa konflik tidak akan luput dari perhatian dan pem-beritaan media massa.
Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok), yang memiliki atau merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan (Fisher, et al. 2001).

Menurut Soerjono Soekanto (1989) pertentangan atau konflik merupakan proses disosiasi yang agak tajam dalam membawa akibat positif maupun negatif. Dalam kondisi ini terdapat kecenderungan untuk menye-suaikan kembali pada norma-norma hubungan sosial dalam kelompok etnis kultur. Terutama apabila individu-individu berada pada kualitas interaksi frekuensi tinggi, maka kemungkinan konflik sangat terbuka yaitu karena sikap toleran yang tidak mengem-bangkan “emotional intelegence” atau kepekaan cita rasa.

Tiga faktor dasar penyebab konflik menurut LR Pondy (Sumarno, et al. 2000) yaitu: 1. berlomba dalam memanfaatkan sumber langka (compe-tition for scare resources) 2. Dorongan di dalam memperoleh otonomi (drives for outonomy) 3. Perbedaan di dalam mencapai tujuan tertentu (disvergence of sub unit goals) Leopold Van Wiese dan Howard Backer (dalam Sumarno, et al., 2000) mencatat beberapa sebab akar-akar konflik, antara lain; 1. Perbedaan orang perorang yang terkait dengan pendidikan dan perasaan 2. Perbedaan kebudayaan yang berkait dengan; pola-pola kebudayaan, pembentukan dan perkembangan kepribadian, pola-pola pendirian, perbedaan kepentingan 3. Perubahan sosial. Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai tahap aktivitas, intensitas, ketegangan, dan kekerasan yang berbeda. Tahap tahap konflik terdiri dari (Fisher, et al., 2001, 19). Pertama, prakonflik; merupakan periode dimana terdapat ketidak-sesuaian sasaran diantara dua pihak atau lebih sehingga timbul konflik. Dua, konfrontasi; pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. Hubungan di antara kedua pihak menjadi sangat tegang, mengarah pada polarisasi di antara para pendukung di masing-masing pihak. Tiga, krisis; ini merupakan puncak krisis, ketika ketegangan dan/atau kekerasan terjadi paling hebat. Komunikasi normal di antara kedua pihak kemungkinan putus. Peryataan-peryataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak-pihak lainnya. Empat, akibat; pada tahap ini, tingkat ketegangan, konfrontasi dan kekerasan pada tahap ini agak menurun, dengan kemung-kinan adanya penyelesaian. Lima, pascakonflik; situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai kon-frontasi kekerasan, ketegangan berku-rang dan hubungan mengarah ke lebih normal di antara kedua pihak. Namun jika isu-isu dan masalah-masalah penyebab pertentangan antara dua pihak tidak diatasi dengan baik, tahap ini sering kembali lagi menjadi situasi prakonflik.

Pakar studi konflik dari Universitas Oxford, France Steward (Kompas,  16/12/03) menyebutkan empat kategori negara yang berpotensi konflik. Keempat kategori adalah negara dengan tingkat pendapatan dan pembangunan manusianya rendah, negara yang pernah terlibat konflik serius dalam 30 tahun sebelumnya, negara dengan tingkat horizontal yang tinggi, dan negara yang rezim politiknya berada dalam transisi rezim represif menuju rezim demokratis. Indonesia serta merta bisa masuk dalam keempat kategori tersebut sekaligus.

Konflik di Indonesia

Pada permukaan orang-orang Indonesia tampak bersatu karena bangsa Indonesia memiliki budaya Indonesia, namun tidak demikian dalam kenyataan. fakta menunjukkan bahwa selama ini telah terjadi begitu banyak krisis dan konflik di Indonesia.
Keharmonisan dan toleransi yang tampak selama ini menurut Mulyana (2002) karena rakyat Indonesia memiliki orientasi tradi-sional-kolektivistik mereka seperti yang tersirat dalam konsep populer gotong royong dan musyawarah untuk mufakat, sebagai kontras dari individualistik masyarakat barat. Hal ini membuat masyarakat Indonesia terbiasa mempertahankan keharmo-nisan sosial, tutup mulut, atau diam saja di hadapan orang namun menggerutu di belakang, membuat konflik sedemikian berkepanjangan atau bahkan tak terselesaikan. Kecenderungan kultural ini juga telah diperparah oleh perspektif monolitik yang selalu dipertahankan oleh pemerintah yang menekankan mono-loyalitas kelompok-kelompok masya-rakat kepada pemerintah. Friksi-friksi interkultural ini telah terjadi puluhan tahun di Indonesia. Beberapa konflik antar golongan yang telah terjadi dalam di dalam beberapa tahun terakhir ini.
Pada bulan mei 1998, toko-toko warga keturunan cina di Jakarta diporakporandakan (barang-barangnya dijarah) oleh mereka yang disebut pribumi. Tidak lama sesudahnya, terdapat kerusuhan antar suku antara orang-orang Dayak dan Madura di Sambas, Kalimantan Barat, yang menyebabkan ratusan orang Madura terbunuh dan ratusan rumah dibakar. Tak lama kemudian terjadi konflik-konflik antar kelompok agama yang lebih serius (kerusuhan dan pemban-taian) antara orang orang muslim dan kristen di Maluku. Sejumlah friksi di antara kelompok-kelompok etnis masih bersifat laten. Friksi-friksi yang laten ini mungkin muncul kepermu-kaan bila tidak dikelola sedini mung-kin.

Liputan Media Tentang Krisis
Putra GN, (2002) menjabarkan hasil-hasil penelitian mengenai bagai-mana media meliput krisis sebagai berikut; liputan media tentang krisis digambarkan oleh Scanlon, Luuko & Morten (1978) sebagai cenderung tidak akurat dan mengandung rumour atau desas-desus. Wilbur Schramm dalam artikelnya “Communication in Crisis” (1971) telah menyatakan bahwa laporan media tentang sebuah krisis cenderung kurang akurat dan lebih mengutamakan kecepatan. Dalam sebuah  krisis, media cenderung lebih mengutamakan penyajian berita secara cepat dari pada berita yang akurat, demikian pendapat Dynes (seperti yang dikutip Scanlon, Luuko & Morten, 1978). Dynes menambahkan bahwa laporan media tentang sebuah krisis akan cenderung membesar-besarkan kejadian. Barton setuju dengan pendapat Dynes, menyatakan bahwa media akan menyebarkan berita yang terfragmentasi tanpa penge-cekkan yang memadai untuk menja-min keakuratan isi.
Fritz dan Mathewson juga berpendapat bahwa laporan media tentang suatu tragedi akan mem-bingungkan, tidak terorganisir, menya-jikan informasi yang saling berten-tangan dan mengandung ketidak jelasan dan ketidak akuratan. Waxman, Kueneman dan Wright juga mene-mukan bahwa liputan media terhadap suatu krisis kurang akurat dan berisi informasi saling bertentangan.   

Berita Konflik di Media Massa

Idealnya suatu berita yang baik adalah berita yang ditulis berdasarkan fakta sesungguhnya. Tidak dikotori oleh kepentingan segelintir orang sehingga mendistorsi  fakta tersebut. Namun dalam realita media sebagai ruang publik kerap tidak bisa memerankan diri sebagai pihak yang netral. Media senantiasa terlibat dengan upaya merekonstruksi realitas sosial. Dengan berbagai alasan teknis, ekonomis, maupun ideologis, media massa selalu terlibat dalam penyajian realitas yang sudah diatur sedemikian rupa sehingga tidak mencerminkan realita sesungguhnya. Keterbatasan ruang dan waktu juga turut men-dukung kebiasaan media untuk meringkaskan realitas berdasarkan “nilai berita”. Prinsip berita yang berorientasi pada hal-hal yang menyimpang menyebabkan liputan peristiwa jarang bersifat utuh, melainkan hanya mencakup hal-hal yang menarik perhatian saja yang ditonjolkan. Berita juga sering dibuat berdasarkan semangat “laku-tidaknya berita itu dijual” Trijono L. (2002), mengatakan sejauh ini bisa dikatakan media massa boleh dikatakan cende-rung meliput berita konflik hanya pada aspek perilaku konfliknya saja atau aspek-aspek konflik yang kelihatan kasat mata. Misalnya perilaku mem-bunuh, membantai kelompok tertentu, menembak, membakar, dll. Berita-berita sensasional dan dramatis demikian sering menjadi liputan utama. Mereka seringkali juga menyajikan secara berlebihan aspek kekerasan dan konflik, misalnya sekian banyak tempat yang strategis rusak dibakar, jumlah korban yang terluka atau terbunuh, dsb. Laporan mereka bukan pada keseluruhan fakta tentang dimensi-dimensi konflik yang ada, mencakup situasi konflik dan persepsi atau pandangan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Sehingga infor-masi tentang konflik yang tersedia dalam dunia kita sekarang menjadi bersifat sangat permukaan (superficial) dan tidak proporsional  (out of proportion). Sejauh ini telah umum diakui bahwa media massa seringkali menyajikan informasi tentang konflik secara permukaan dan sepotong-potong. Hanya aspek konflik yang paling mudah dilihat dan peristiwa konflik yang paling dramatis, yang mendapat perhatian terbesar untuk diliput. Aspek lain dari kekerasan, seperti situasi yang menjadi akar konflik dan persepsi berbagai pihak tentang konflik tidak mendapat perhatian berarti, meski hal itu sangat penting untuk diketahui publik. Sebagai contoh, pemerintah yang berkuasa dan media massa di Indonesia banyak membuat berita sensasi dan begitu ramai membe-ritakan tindakan pengeboman di Bali, pengeboman di Hotel JW Marriot, konflik antara suku Dayak dan Madura, atau konflik Ambon. Tetapi, situasi yang bisa menyebabkan konflik kekerasan muncul di masyarakat seperti represi politik, ekploitasi dan perampasan hak ekonomi rakyat, kemiskinan, kelaparan, atau korban banjir besar sebagai akibat pemba-batan hutan, dan kerusakan lingku-ngan tidak mendapat perhatian yang proporsional di media massa.
Selain bersifat permukaan, liputan media massa dan laporan resmi pemerintah tentang konflik di Indonesia seringkali bias dan tidak proporsional. Bentuk bias dan ketidak proporsionalan liputan itu dapat  berupa peliputan yang berlebihan tentang cakupan dan intensitas konflik yang tidak sesuai dengan tingkatan koflik yang nyata, atau sebaliknya, pengurangan aspek konflik yang penting yang mestinya dikemukakan dengan alasan menghindarkan dampak buruk yang diakibatkan oleh berita atau laporan yang dibuat. Sebagai contoh, penculikan dan pelepasan korban penculikan pegawai TVRI oleh GAM (Gerakan Aceh Merdeka) mendapat liputan yang luas dan sangat komprehensif dari media massa di Indonesia. Hal ini sangat berbeda dengan liputan media tentang penculikan, penghilangan dan pem-bunuhan massal oleh rezim berkuasa, misalnya saat Orde Baru berkuasa atau menjelang masa transisi politik, karena dituduh makar, subversif separatis, atau membangun gerakan terorisme. Media massa umumnya tidak akan menjadikan peristiwa penculikan, atau pembunuhan oleh rezim yang berkuasa sebagai liputan penting yang perlu disebarluaskan.
Liputan media massa dan laporan resmi pemerintah tentang konflik umumnya juga sangat bias, tidak seimbang, dan tidak propor-sional. Mereka cenderung hanya meliput fakta dan gejala konflik hanya sebagai peristiwa penyimpangan atau kecelakaan biasa. Selain hanya menon-jolkan yang sensasional dan dramatis kebanyakan konflik kekerasan hanya diliput sekali sebagai sebagai peristiwa sepotong-potong terlepas dari peristiwa konflik secara lengkap. Konflik seolah-olah hanya dilihat sebagai perititwa kecelakaan yang tragis, kesalahan prosedur atau efek samping dari suatu kebijakan, bukannya sebagai peristiwa sengaja yang secara sistematis melekat dalam bekerjanya suatu sistem politik, sebagai suatu gejala yang memiliki banyak aspek dan dimensi, dan punya akar penyebab dan pola tertentu yang bisa dicegah dan diatasi

Referensi:
Fisher S., et al, “Mengelola Konflik, Keterampilan dan Strategi Bertindak”, The British Council Indonesia, Jakarta, 2000.       

Mulyana D, “Intergroup Labelling di Indonesia, Kontribusi Media Massa Terhadap Crisis  ommunication”, dalam Ispandriarno, 2002.

L, Hanitzsch T, &  Loeffelholz M, (ed), “Media-Militer-Konflik, Crisis Communication: Perspekti  Indonesia dan Internasional”, Friedrich Ebert Stiftung dan Galang Pers, Jakarta.
Putra, GN, “Liputan Media Terhadap Tragedi WTC”, Kasus Liputan Kompas dan The Jakarta Post, dalam Ispandriarno L, Hanitzsch T, &  Loeffelholz M, (ed): Media-Militer-Konflik, Crisis Communication: Perspekti Indonesia dan Internasional, Friedrich Ebert Stiftung dan Galang Pers, Jakarta, 2002.
Scanlon, T. Joseph, Rudy Lukko & Gerarld Morten, “Media Coverage of Crises. Better Than Reported, Worse Then Necessary”, dalam Journalism Quarterly. Vol 55, 1978.
Siebert, Peterson & Schramm, “Empat Teori Pers“, Intermasa, Jakarta, 1986.
Soekanto, S, “Sosiologi suatu Pengantar”, Rajawali, Jakarta, 1989.
Sudibyo, Hamad, Qodari, “Kabar-Kabar Kebencian Prasangka Agama di Media Massa”,:  Institut Studi Arus Informasi, Jakarta, 2001.
Sumarno, Karimah K dan Damayanti NA, “Filsafat dan Etika Komunkasi”, Univeristas Terbuka Press, Jakarta, 2000.
Trijono, L, “Peran Komunikasi dalam Konflik dan Untuk Perdamaian”, dalam Ispandriarno L, Hanitzsch T, &  Loeffelholz M, (ed): Media-Militer-Konflik, Crisis Communication: Perspekti Indonesia dan Internasional. Friedrich Ebert Stiftung dan Galang Pers, Jakarta, 2002.
Kompas, 16 Desember 2003.