Membangun Demokrasi Melalui Constitutional Complaint |
WASIS SUSETIO, SH, MA. Dosen Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, konsep negara hukum sendiri memiliki korelasi erat dengan pembangunan nilai-nilai demokrasi yang ingin diterapkan melalui mekansime yuridis suatu sistem ketatanegaraan. Salah satu sikap politik para anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam menerjemahkan keinginan rakyat pasca pemerintahan orde baru adalah membangun sistem demokrasi yang lebih terjamin dalam bingkai yuridis. Konstitusi sebagai hukum tertulis tertinggi merupakan pilar utama Negara Hukum, sehingga dengan ditegakkannya Konstitusi dalam penyelenggaraan pemerintahan akan tegak pula cita Negara Hukum Indonesia yang di dalamnya terkandung luas jiwa dan semangat demokrasi. Negara hukum harus menjamin adanya demokrasi, sebagaimana di dalam setiap Negara Demokrasi harus menjamin penyelenggaraannya berdasar atas hukum, maka perlu ada perlindungan konstitsuional yang menjamin hak-hak masyarakat sebagai perwujudan dari pelaksanaan elemen-elemen demokrasi dalam Konstitusi. A. Democratische Rechstaat Salah satu sikap politik para anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam menerjemahkan keinginan rakyat pasca pemerintahan orde baru adalah membangun sistem demokrasi yang lebih terjamin dalam bingkai yuridis. Hal ini dituangkan dalam amandemen ketiga UUD 1945 dengan menambahkan ketentuan dalam Pasal 1 UUD 1945. Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa: “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945”, dan berikutnya pada ayat (3) disebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum (Rechtstaat)”. Dua substansi pokok dari adanya penambahan kedua ayat tersebut adalah mengkonstruksikan kembali (Re-construction) paham kedaulatan rakyat melalui rumusan konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi, dan me-laksanakannya dalam format negara hukum. Dalam kedudukan tersebut, maka pembangunan demokrasi di Indonesia diharapkan dapat lebih terjamin. Konsep negara hukum sendiri memiliki korelasi erat dengan pem-bangunan nilai-nilai demokrasi yang ingin diterapkan melalui mekanisme yuridis suatu sistem ketatanegaraan. Hal ini bermula sejarahnya dari perkembangan ide negara hukum atau disebut Nomocracy sebagai akibat dari perkembangan teori kedaulatan hukum. Pada zaman modern, konsep negara hukum di Eropa Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “Rechtstaat”. Sedangkan dalam tradisi Anglo Saxon, konsep negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”. Menurut Stahl dalam konsep “Rechtstaat” mencakup 4 (empat) elemen utama, yaitu :
Sedangkan A.V. Dicey meng-uraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap negara hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu:
( Didi, 1992) Dari kedua pemikiran terhadap prinsip-prinsip negara hukum di atas telah mengalami elaborasi yang cukup signifikan dalam perkembangan nilai-nilai demokrasi, hal ini dapat dilihat dari hasil pertemuan para juris di South-East Asian and Pacific Con-ference of Jurist in Bangkok, pada tanggal 15 sampai dengan 19 Februari 1965 di Bangkok, Thailand yang memperkenalkan adanya syarat-syarat bagi negara perwakilan yang berbasis The rule of law (Representative government under the rule of law), yaitu :
Sementara Konstitusi sebagai hukum tertulis tertinggi (staat- fundamentalnorm) merupakan pilar utama negara hukum, sehingga dengan ditegakkannya konstitusi dalam penyelenggaraan pemerintahan akan tegak pula cita Negara Hukum Indonesia (Rechtstaatsidee) yang di dalamnya terkandung luas jiwa dan semangat demokrasi. B. Kewenangan Constitutional Complaint Mahkamah Konstitusi Dalam salah satu syarat penerapan the rule of law oleh negara hukum yang disebutkan di atas, maka perlu ada perlindungan konstitusional yang menjamin hak-hak masyarakat sebagai perwujudan dari pelaksanaan elemen-elemen demokrasi dalam Konstitusi. Dengan demikian dibutuhkan suatu mekanisme perlindungan konstitusional yang efektif, dan hal ini merupakan keniscayaan dengan terbentuknya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) pada tahun 2003 sebagai lembaga yang berwenang untuk mengawal konstitusi dalam praktek ketatanegaraan di Indonesia. Dengan kata lain, Mahkamah Konstitusi menjadi instrumen penting dalam pembangunan demokrasi di Indonesia. Tetapi seberapa jauh ke-wenangan Mahkamah Konstitusi untuk menjaga keberlangsungan proses tersebut? Dalam Pasal 24 C UUD 1945 disebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang ter-hadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, me-mutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu, dan memutus pendapat DPR terhadap perkara impeachment terhadap presiden dan / atau wakil presiden. Dari kelima kewenangan tersebut, khususnya pengujian undang-undang yang pengajuannya di-mungkinkan juga oleh warganegara perorangan (pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi) maka hal itu sesungguhnya merupakan upaya penegakkan prinsip-prinsip negara hukum yang menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap undang-undang yang ditetapkan dan ditegakan mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Dalam bahasa demokrasinya maka Hukum dan undang-undang yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinisp demokrasi yang tertuang dalam konstitusi. Dengan demikian, negara hukum (rechtsaat) yang di-kembangkan bukanlah “absolute rechstaat”, melainkan “democratische rechtsaat”, negara hukum harus menjamin adanya demokrasi, sebagaimana di dalam setiap Negara Demokrasi harus menjamin penyelenggaraannya berdasar atas hukum (Jimly,2005) Akan tetapi kewenangan Mahkamah Konstitusi yang terbatas pada pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 terasa belum cukup, sebab masih banyak keputusan penguasa (public authorities) termasuk peraturan pelaksana undang-undang, kebijakan maupun putusan pengadilan yang semestinya merupakan obyek pengujian di Mahkamah Konstitusi juga. Hal tersebut dapat berupa keluhan konstitusional (constitutional complaint) di mana setiap orang dapat mengajukan komplain terhadap dugaan atas kerugian hak konstitu-sional mereka akibat adanya putusan, kebijakan maupun peraturan per-undang-undangan yang bertentangan dengan Konstitusi. Memang dalam pasal 24 A ayat (1) UUD 1945 mengatur pengujian (judicial review) di Mahkamah Agung (MA) terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, seperti misalnya Peraturan Pemerintah (PP), Presiden (Perpres), dan lain-lain. Demikian pula dengan kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), namun hal tersebut hanya untuk perkara pengaduan tindakan para pejabat yang melakukan pe-langgaran undang-undang. Sehingga hal ini akan terhenti kepada penilaian normatif atas undang-undang bukan terhadap ketentuan UUD 1945. Adanya Contitutional complaint memungkinkan masyarakat mendapat- kan hak konstitusionalnya kembali akibat dirugikan oleh putusan dari pejabat publik termasuk pengadilan. Praktek constitutional complaint dapat mengambil contoh dalam Konstitusi Jerman (Bundesverfassungsgerichtsge- setz) Pasal 93 ayat (1): “A constitutional complaint may relate to any act by a public authority violating a basic right: a law, a directive of an administrative agency, or a court decision. However, the requirement for lodging such a complaint with the Federal Constitutional Court is that there is no other means of eliminating the violation of a basic right. In principle all remedies within the relevant branch of jurisdiction (e.g. civil, criminal or administrative) must therefore first be exhausted before having recourse to the Federal Constitutional Court.” Di Jerman sendiri tidak kurang dari 5000 kasus setiap tahunnya, sementara dari sejak dimulainya ke-wenangan constitutional complaint pada Mahkamah Konstitusi Jerman pada tahun 1958 hingga tahun 2004 telah ada sekitar 140.000 kasus yang terkait dengan constitutional complaint (German Law Journal No. 5 (1 May 2005). Constitutional complaint hanya dilakukan untuk memulihkan hak konstitusional bagi pihak yang dirugikan, tanpa perlu membatalkan suatu ketentuan perundang-undangan dalam hal judicial review. Dengan demikian, suatu peraturan perundang-undangan dapat tetap diberlakukan sesuai asas erga omnes (berlaku untuk seluruhnya) kecuali bagi mereka yang dianggap menderita kerugian atas berlakunya peraturan perundang-undangan tersebut. Menurut Jan Klucka (Klucka, 1997) maka secara umum ada 4 karakter dari constitutional complaint yaitu:
Sebagai contoh jika ada suatu putusan tingkat akhir berkekuatan tetap (incracht) yang sifatnya merugikan kepentingan seseorang. Dalam dasar pertimbangan hukum putusan pengadilan tersebut dianggap telah mencederai hak konstitutional orang yang bersangkutan, dan tidak ada upaya hukum lain yang dapat dilakukan. Maka dalam posisi kasus demikian, orang tersebut dapat mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk meminta pengujian terhadap keputusan pengadilan melalui pengaduan constitutional complaint, dengan melakukan eksaminasi konstitusional terhadap pertanyaan apakah putusan pengadilan terhadap dirinya bertenta-ngan dengan ketentuan Konstitusi? misalnya putusan pengadilan yang bersangkutan bertentangan dengan penerapan asas kepastian hukum yang dijamin oleh Konstitusi. Contoh lain adalah adanya complaint terhadap keberlakuan suatu aturan yang berkenaan dengan hak kosntitusional seseorang atau sekelom-pok orang. Di Jerman pernah terjadi adanya pengajuan complaint terhadap larangan penyembelihan hewan (animal slaughter). Aturan tersebut diprotes serta digugat ke pengadilan oleh warga muslim Jerman yang secara syariah Islam diwajibkan untuk mengeluarkan darah hewan melalui tenggorokan dengan cara menyembelih hewan tersebut, apalagi adanya alasan kewajiban penyembelihan hewan pada setiap hari Raya Qurban (Iedul Adha). Pengujian aturan setingkat Peraturan Pemerintah tersebut dilakukan di Mahkamah Agung. Namun hasilnya menolak permohonan pemohon dengan dalih kewenangan negara untuk menentukan aturan, dan menyatakan bahwa aturan tersebut tetap mengikat secara umum termasuk kepada pemohon. Akhirnya para pemohon mengajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji putusan Mahkamah Agung tersebut melalui penilaian terhadap ketentuan konstitusional, khususnya terhadap pasal tentang kebebasan beragama (freedom of religion). Dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah terjadi terobosan hukum melalui interpretasi terhadap paradigma atas kedaulatan Tuhan yang di-implementasikan ke dalam kaedah-kaedah agama, termasuk pe-nyembelihan hewan korban. Dalam posisi ini, secara yuridis kedaulatan Tuhan dapat menegasikan kedaulatan negara yang membuat aturan larangan penyembelihan hewan, dengan demikian aturan tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang bagi para warga muslim Jerman, namun tetap di-berlakukan bagi warga lainnya (Decision of the Federal Constitutional Court, 1 BvR 2790/04 of December 28, 2004). Kewenangan untuk mengadili perkara constitutional complaint di beberapa negara yang memiliki Mahkamah Konstitusi, seperti Austria, Korea Selatan, Rusia, Kroasia, Afrika Selatan, dll (seluruhnya ada 78 negara yang memiliki Mahkamah Konstitusi) telah diatur dalam Konstitusi mereka. Hal ini umumnya disebabkan karena negara-negara tersebut memiliki pengalaman politik masa lalu terhadap praktek penyimpangan konstitusional dalam penyelenggaraan negara yang merugikan hak-hak masyarakat yang sesungguhnya dilindungi oleh Konstitusi sebagai bentuk kontrak sosial antara Penyelenggara Negara dengan Rakyatnya (Strong,1960). Berbagai keluhan masyarakat saat ini akibat banyaknya praktek putusan pengadilan, keputusan pemerintah, maupun peraturan yang merugikan, sangatlah relevan untuk diajukan kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengadilinya berdasarkan parameter normatif konstitusional. Meskipun Mahkamah Konstitusi memiliki keterbatasan kewenangan sebagaimana diatur dalam UUD 1945, khususnya pasal 24 C , namun masih ada keniscayaan untuk dilakukan secara pragmatis melalui 2 (dua) cara, baik oleh pembentuk undang-undang maupun oleh hakim konstitusi. Bagi pihak pembentuk undang-undang dapat melalui legislative review terhadap undang-undang nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yaitu melalui penambahan (secara addendum) terhadap penjelasan atas makna pengujian undang-undang. Dalam posisi ini, para pembentuk undang-undang dituntut untuk memiliki political will yang kuat untuk menjalankan amanah Konstitusi UUD 1945 dan menegakkan nilai-nilai demokrasi di dalamnya. Pembentuk undang-undang tidak perlu khawatir dengan melakukan legislative review atas Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tersebut, sebab hal itu akan memperlihatkan kepada masyarakat bahwa sikap dan kedewasaan politik DPR maupun pemerintah semakin matang dan commit terhadap penegakan nilai-nilai demokrasi dalam koridor yuridis konstitusional. Sementara bagi para hakim Konstitusi dapat melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) melalui judicial interpretation secara teleologis dan ekstensif dengan mengacu kepada sumpah jabatan mereka, khususnya terhadap kata-kata “…menegakkan konstitusi dengan selurus-lurusnya”. Dalam hal tersebut, hakim dapat melakukan analogi sejarah pertama kali terjadinya judicial review oleh hakim John Marshal pada tahun 1803, sebagai Hakim Mahkamah Agung Amerika yang meskipun tidak diberi kewenangan oleh Konstitusi Amerika namun melakukan penafsiran ekstensif berdasarkan sumpah jabatannya (Choper, 1980 ) Jadi dapat disimpulkan bahwa hukum merupakan suatu wahana untuk menciptakan tatanan masyarakat yang dikehendaki sebagaimana dikatakan oleh Roscou Pound, “The law is a tool of social engineering”, salah satunya untuk membangun masyarakat yang demokratis. Agar pelaksaanaan hukum berjalan efektif maka diperlukan pengawasan masyarakat dengan mengajukan perkara ke Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan untuk menerima constitutional complaint, sehingga fungsi dan kewenangan Mahkamah Konstitusi dapat benar-benar menjamin penegakan nilai-nilai konstitusi yang didalamnya termaktub pula pem-bangunan Negara Hukum yang demokratis. Daftar Pustaka Asshidiqie, Jimly, “Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indone-sia”, Konstitusi Press, Jakarta, 2005. Choper, Jose H., “Judicial review and the National Political Process”, The University of Chicago Press, London,1980. C.F., Strong OBE, “Modern Political Constitutions An Introduction to the Comparative Study of their History and Existing Form”,pp 123-124, Sidwick & Jacson Limited, London,1960. Decision of the Federal Constitutional Court, 1 BvR 2790/04 of December 28, 2004, at http://www.bverfg/entscheidungen/rk20041228_1bvr279004.html. Friedman, Wolffgang, “Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum”, Rajawali Press, Jakarta, 1980. Klucka, Jan, “Suitable Rights for Constitutional Complaint”, Paper in Workshop on “The Functioning of the Constitutional Court of The Republic of Latvia”, Riga, Latvia, 3-4 July 1997. South-East Asian and Pacific Conference of Jurist, “The Dynamic Aspects of the Rule of Lawin Modern Age, International Commission of Jurist”, Bangkok,1965. Yunas, Didi Nazmi, “Konsepsi Negara Hukum”, Angkasa, Padang, 1992. |